Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 30 Mei 2015

MSI Chapter VIII

     Pada perkuliahan hari ini tepatnya tangal 19 Mei 2015 untuk kesekian kalinya saya melangkahkan kaki dengan tempo cepat karena sudah terlambat. Sampai di kelas dengan keringat bercucuran faktor dari langkah kaki berjalan dari ma’had (sebutan asrama di lembaga institut islam) lantai 3 menuju lantai 3 gedung stasiun (sebutan gedung fakultas tarbiyah yang tempatnya bersebelahan dengan rel kereta api). Saya masuk ke kelas langsung mencari tempat duduk karena perkuliahan telah di mulai. Perkuliahan hari ini tanpa presentasi seperti biasanya. Dosen langsung memberi penjelasan-penjelasan. Tema yang dibahas hari ini adalah mengenai isu-isu aktual dalam studi islam dengan sub-bab Pluralisme.
     Pluralisme ialah meyakini agama yang dianut sebagai yang paling benar dan secara sosial tetap harmonis dengan kelompok atau agama yang berbeda. Dalam hubungan relasi sosial antar umat manusia membuka dua pilihan: harmoni dan konflik. Harmoni jika masing-masing pihak dapat saling memahami, mengedepankan toleransi, dan menepis berbagai prasangka negatif terhadap yang lain. Karena sesungguhnya timbulnya konflik disebabkan adanya prasangka-prasangka negatif yang belum tentu benar adanya.
     Berbagai macam konflik dapat terjadi dalam lingkup terkecil yaitu keluarga, antar tetangga, antar kampung, hingga dalam lingkup yang jauh lebih besar seperti negara.konflik juga dapat terjadi kapan saja. Terjadinya konflik dapat diatasi dengan adanya kecerdasan emosional (EQ) juga dengan kecerdasan Spritual yang mumpuni. Orang-orang yang memiliki kecerdasan emosional dan spritiual yang lebih, maka dia akan lebih dapat meminimalisir terjadinya konflik, jga dapat menjadi penengah jika terjadi konflik.
    Salah satu persoalan dalam konflik yang memperoleh perhatian khusus adalah faktor agama. Agama memang tidak hanya berkaitan dengan keyakinan, tetapi juga berkaitan dengan aspek emosionalitas, eksistensi, bahkan kehidupan seseorang. Fenomena konflik berlatar belakang agama sesungguhnya melahirkan paradoks (ketidaksamaan antara yang dicapkan dengan yang dilakukan) dalam agama sendiri.
     Pemaknaan mengenai pluralisme sangatlah beragam. Ada yang berkonotasi positif, namun tidak jarang juga yang memaknainya dengan negatif.dalam pandangan merek yang memaknai pluralisme dengan negatif, pluralisme dinilai sama dengan relativisme. Relativisme adalah pandangan yang melihat tidak ada kebenaran mutlak atas sebuah agama.
     Selain itu, ada juga yang menyamakan pluralisme dengan sinkretisme. Sinkretisme adalah sebuah paham atau keyakinan “gado-gado” yang memadukan unsur-unsur tertentu dari masing-masing agama, kemudian diformulasikan menjadi agama atau ajaran baru. Misalnya, adanya perpaduan antara ajaran agama islam dengan ajaran agama hindu yang kemudian melahirkan formula baru dengan munculnya agama sikh. Hal ini sangat berbeda dengan pluralisme karena pluralisme tidaklah menciptakan agama baru dengan memadukan sebagian unsur dari beberapa agama yang ada.
Dialog memiliki peranan yang sangat penting karena dapat membangun dan mendorong ke arah kesadaran akan pluralisme. Mengembangkan dialog dapat dilakukan dalam empat tingkatan.
1.    Dialogue of heart: rasa sebagai bersaudara sehingga memupus halangan psikologi.
2.    Dialogue of life: dialog dalam kehidupan yang kemudian menegakkan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan kemanusiaan.
3.    Dialogue of peace: dialog untuk mempertimbangkan tuhan dan manusia dalam kehidupan.
4.    Dialogue of silence: dialog dimana tuhan berbicara kepada manusia.
Untuk menghasilkan hubungan inklusif antar agama melalui dialog, ada sepuluh prinsip yang harus dipegang:
(1)    Tujuan pertama dialog adalah untuk belajar mengubah dan mengembangkan persepsi dan pengertian tentang realitas, dan kemudian berbuat menurut apa yang sesungguhnya diyakini,
(2)    Dialog antar agama harus merupakan proyek dua pihak-intern masyarakat satu agama atau antar masyarakat penganut agama yang berbeda,
(3)    Setiap peserta dialog harus mengikuti dialog dengan kejujuran dan ketulusan yang sungguh-sungguh, dan sebaliknya dia juga yakin dan percaya, bahwa mitra-mitra dialognya memiliki ketulusan dan kesungguh-sungguhan seperti yang ia miliki,
(4)    Setiap peserta dialog harus mendefinisikan dirinya sendiri.
(5)    Setiap peserta dialog harus mengakui dialog tanpa asumsi-asumsi yang kukuh dan tergesa-gesa mengenai misalnya suatu hal yang tidak dapat disetujui,
(6)    Dialog hanya bisa dilakukan antara pihak-pihak yang setara,
(7)    Dialog harus dilaksanakan atas dasar saling percaya,
(8)    Orang-orang yang memasuki arena dialog harus bersikap kritis, baik kepada dirinya sendiri maupun terdahap agama yang mereka anut,
(9)    Setiap peserta dialog akhirnya harus mencoba memahami agama mitra dialognya dari dalam,
(10)    Dalam dialog antar agama, orang tidak boleh membandingkan idealismenya dengan praktek mitra dialognya.
    Sekian sedikit uraian yang saya dapat dari perkuliahan hari ini. Semoga bermanfaat bagi penulis khususnya dan juga bagi pembaca pada umumnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll